Alkisah, pada zaman dahulu kala, di pantai Selatan
Pulau Lombok, berdiri sebuah kerajaan yang bernama Tunjung Bitu. Kerajaan tersebut diperintah oleh seorang Raja yang bernama Raja
Tonjang Beru dengan permaisurinya, Dewi Seranting. Tonjang Beru adalah seorang raja yang arif
dan bijaksana. Seluruh rakyatnya hidup makmur, aman dan sentosa. Mereka sangat
bangga mempunyai raja yang arif dan bijaksana itu. Raja Tonjang Beru memiliki
seorang Putri yang cantik jelita, cerdas dan bijaksana, namanya Putri
Mandalika. Di samping cantik dan cerdas, Putri Mandalika juga terkenal ramah
dan sopan. Tutur bahasanya sangat lembut. Seluruh rakyat negeri sangat sayang
terhadap sang Putri.
Kecantikan
dan keelokan perangai Putri Mandalika sudah tersohor ke berbagai negeri, bahkan
sampai ke negeri seberang. Para pangeran dari
berbagai kerajaan juga telah mendengar berita tersebut. Setiap pangeran yang
melihat kecantikan dan keanggunan sang Putri menjadi mabuk kepayang. Seakan
telah terjadwalkan, para pangeran tersebut datang secara bergantian untuk
melamar sang Putri.
Suatu
keanehan pada diri Putri Mandalika. Setiap pangeran yang datang melamarnya, tak
satu pun yang ia tolak. Namun, para pangeran tersebut tidak menerima jika sang
Putri diperistri oleh banyak pangeran. Maka mereka pun bersepakat untuk mengadu
keberuntungan melalui peperangan. Siapa yang menang dalam peperangan itu, maka
dialah yang berhak memperistri sang Putri.
Suatu
hari, berita tentang akan terjadinya peperangan antara beberapa kerajaan sampai
pula ke telinga Raja Tonjang Beru. Sang Raja segera memanggil putrinya untuk
membicarakan masalah tersebut. “Wahai, Putriku! Ayahanda mendengar bahwa di
negeri ini akan terjadi malapetaka besar. Seluruh pangeran yang pernah datang
melamarmu akan mengadakan perang. Mereka bersepakat, siapa yang menang dalam perang
itu, dialah yang akan menjadi suamimu,” kata sang Raja kepada putrinya.
“Putri
sudah mendengar berita itu, Ayahanda,” jawab sang Putri dengan tenang. “Lalu,
apa yang akan kita lakukan agar pertumpahan darah itu tidak terjadi?” tanya
sang Raja khawatir. “Maafkan Putri, Ayahanda! Ini semua salah Putri, karena
telah menerima semua lamaran mereka. Jika Ayahanda berkenan, izinkanlah Putri
yang menyelesaikan masalah ini,” pinta sang Putri. “Baiklah, Putriku!” jawab
sang Raja penuh keyakinan.
Setelah
berpikir sehari-semalam, sang Putri pun menemukan jalan keluarnya. Pada
awalnya, sang Putri berniat memilih salah satu dari puluhan pangeran yang
melamarnya sebagai suaminya. Namun, niatnya itu ia batalkan setelah memikirkan
resikonya. Jika ia memilih satu di antara beberapa pangeran sebagai suaminya,
tentu pangeran yang lainnya merasa iri. Hal ini tentu akan menimbulkan
pertumpahan darah. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi sang Putri. Ia
pun memutuskan untuk mengorbankan jiwa dan raganya. Tekadnya tersebut sudah
tidak bisa ditawar lagi. Ia sudah siap merelakan jiwanya demi menghindari
terjadinya peperangan yang akan memakan korban yang lebih banyak.
Namun,
sebelum melaksanakan niatnya, sang Putri harus melakukan semedi terlebih
dahulu. Dalam semedinya, ia mendapat wangsit agar mengundang semua pangeran
dalam pertemuan pada tanggal 20, bulan 10 penanggalan Sasak), bertempat di
Pantai Seger Kuta, Lombok Tengah. Semua pangeran yang diundang harus disertai
oleh seluruh rakyatnya masing-masing. Mereka harus datang ke tempat itu sebelum
matahari memancarkan sinarnya di ufuk Timur.
Hari yang
telah ditentukan tiba. Tampaklah pemandangan yang sangat menarik. Para undangan dari berbagai negeri berbondong-bondong
datang ke pantai Seger Kuta. Orang yang datang ribuan jumlahnya. Pantai Seger
Kuta bak gula yang dikerumuni semut. Bahkan, banyak undangan yang datang dua
hari sebelum hari yang ditentukan oleh sang Putri tiba. Mulai dari anak-anak
hingga kakek-nenek datang memenuhi undangan sang Putri di tempat itu. Rupanya mereka
sudah tidak sabaran ingin menyaksikan bagaimana sang Putri yang cantik jelita
itu menentukan pilihannya.
Pantai
Sereg Kuta sudah penuh sesak oleh para undangan. Tak berapa lama, sang Putri
yang sudah tersohor kecantikannya itu pun tiba di tempat dengan diusung
menggunakan usungan yang berlapiskan emas. Seluruh undangan serentak memberi
hormat kepada sang Putri yang didampingi oleh Ayahanda dan Ibundanya serta
sejumlah pengawal kerajaan. Suasana yang tadinya hiruk-pikuk berubah menjadi
tenang. Seluruh pasang mata yang hadir tercengang kecantikan wajah sang Putri.
Tubuhnya yang dibungkus oleh gaun sutra yang sangat halus itu, menambah
keanggunan dan keelokan sang Putri. Para
pangeran sudah tidak sabar lagi menanti keputusan dari sang Putri.
Masing-masing berharap dirinyalah yang akan dipilih sang Putri. Suasana semakin
tegang. Jantung para pangeran berdetak kencang seakan-akan mau copot.
Tidak
berapa lama, sang Putri melangkah beberapa kali, lalu berhenti di onggokan
batu, membelakangi laut lepas. Di tempat ia berdiri, Putri Mandalika kemudian
menebarkan pandangannya ke seluruh undangan yang jumlahnya ribuan itu. Rasa
penasaran para hadirin semakin memuncak. Mereka semakin tidak sabaran ingin
mendengarkan kata demi kata keluar dari mulut sang Putri yang menyebutkan salah
satu nama dari puluhan pangeran yang ada di tempat itu sebagai pilihan hatinya.
Setelah
pandangannya merata ke arah para undangan yang hadir, sang Putri pun berbicara
untuk mengumumkan keputusannya dengan suara lantang dengan berseru, “Wahai,
Ayahanda dan Ibunda serta semua pangeran dan rakyat negeri Tonjang Beru yang
aku cintai! Setelah aku pikirkan dengan matang, aku memutuskan bahwa diriku
untuk kalian semua. Aku tidak dapat memilih satu di antara banyak pangeran.
Diriku telah ditakdirkan menjadi Nyale yang dapat kalian nikmati bersama pada
bulan dan tanggal saat munculnya Nyale di permukaan laut.”
Mendengar
keputusan sang Putri tersebut, para hadirin tersentak kaget, termasuk Ayahanda
dan Ibundanya, karena sang Putri tidak pernah memberitahukan keputusannya itu
kepada kedua orang tuanya. Belum sempat Ayahanda dan Ibundanya berkata-kata,
tiba-tiba sang Putri menceburkan diri ke dalam laut dan langsung ditelan
gelombang. Bersamaan dengan itu pula, angin bertiup
kencang, kilat dan petir pun menggelegar. Suasana di pantai itu menjadi kacau-balau.
Suara teriakan terdengar di mana-mana. Sesekali terdengar suara pekikan minta
tolong. Namun, suasana itu berlangsung tidak lama.
Sesaat
kemudian, suasana kembali tenang. Para undangan segera mencari sang Putri di
tempat di mana ia menceburkan diri. Tidak ada tanda-tanda keberadaan sang Putri
di tempat itu. Ia menghilang tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Tak lama
kemudian, tiba-tiba bermunculan binatang kecil yang jumlahnya sangat banyak
dari dasar laut. Binatang yang berbentuk cacing laut itu memiliki warna yang
sangat indah, perpaduan warna putih, hitam, hijau, kuning dan coklat. Binatang
itu disebut dengan Nyale.
Seluruh
masyarakat yang menyaksiksan peristiwa itu meyakini bahwa Nyale tersebut adalah
jelmaan Putri Mandalika. Sesuai pesan sang Putri, mereka pun beramai-ramai dan
berlomba-lomba mengambil binatang itu sebanyak-banyaknya untuk dinikmati
sebagai tanda cinta kasih kepada sang Putri.
Cerita
rakyat di atas merupakan cerita teladan yang mengandung nilai-nilai moral yang
dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu nilai moral
yang sangat menonjol dalam cerita di atas adalah sifat rela berkorban. Sifat
ini tercermin pada sifat Putri Mandalika ketika ia rela mengorbankan jiwa dan
raganya demi menghindari terjadinya peperangan antara beberapa kerajaan yang
dapat mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa. Ia lebih memilih mengorbankan
jiwanya daripada mengorbankan jiwa orang banyak.
Selain
itu, cerita rakyat di atas juga merupakan cerita yang telah melegenda di
kalangan masyarakat Lombok Tengah yang menceritakan tentang asal-mula upacara
atau pesta Bau Nyale (menangkap cacing), terutama di
kalangan masyarakat suku-bangsa Sasak. Hingga kini, masyarakat setempat
menyelenggarakan upacaraBau Nyale setiap
setahun sekali, yaitu antara bulan Februari dan Maret.
Upacara Bau
Nyale ini telah menjadi salah satu daya tarik yang banyak
ditunggu-tunggu oleh para wisatawan mancanegara. Oleh karena itu, Pemerintah
Daerah Kabupaten Lombok Tengah menjadikan upacara Bau Nyale ini sebagai aset budaya yang
penyelenggaraannya telah menjadi koor
event kegiatan budaya
nasional.
Tradisi
upacara Bau Nyale yang diwariskan secara
turun-temurun oleh suku Sasak ini sudah ada sebelum abad ke-16 Masehi. Pada
saat acara Bau Nyale akan dilangsungkan, sejak sore hari
masyarakat setempat beramai-ramai menangkap Nyale si sepanjang pesisir Selatan Pulau
Lombok, terutama di Pantai Seger Kuta, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah. Sejak
berkembangnya pariwisata, khususnya wisata pantai di Lombok,
upacara Bau Nyale selalu dirangkaikan dengan berbagai
kesenian tradisional seperti Betandak (berbalas pantun), Bejambik (pemberian cendera mata kepada
kekasih), serta Belancaran (pesiar dengan perahu), dan tidak
ketinggalan pula pementasan drama kolosal Putri Mandalika. Upacara Bau Nyale tersebut biasanya dihadiri oleh para
pejabat daerah setempat hingga Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan bahkan tidak
sedikit yang datang dari Jakarta.
Upacara Bau
Nyale sudah menjadi tradisi masyarakat setempat yang sulit untuk
ditinggalkan, sebab mereka meyakini bahwa upacara ini memiliki tuah yang dapat
mendatangkan kesejahteraan bagi yang menghargainya dan mudarat(bahaya) bagi orang
yang meremehkannya.
Menurut
keyakinan masyarakat Sasak, Annelida laut yang sering juga disebut
cacing palolo (Eunice Fucata) ini dapat membawa kesejahteraan dan
keselamatan, khususnya untuk kesuburan tanah pertanian agar dapat menghasilkan
panen yang memuaskan. Nyale yang telah mereka tangkap di pantai,
biasanya mereka taburkan ke sawah untuk kesuburan padi. Selain itu, Nyale tersebut mereka gunakan untuk berbagai
keperluan seperti santapan (Emping Nyale), lauk-pauk, obat kuat dan lainnya
yang bersifat magis sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Secara
ilmiah, cacing Nyale yang pernah diteliti mengandung protein hewani yang sangat
tinggi. Di samping itu, Dr. dr. Soewignyo Soemohardjo dalam penelitiannya
menemukan bahwa cacing Nyale dapat mengeluarkan suatu zat yang sudah terbukti
mampu membunuh kuman-kuman.
Secara
sosial-budaya, berdasarkan sebuah survey di kalangan petani Lombok Tengah,
bahwa 70,6 persen responden yang membuang daun bekas pembungkus Nyale (daun
pembungkus pepes Nyale) ke sawah dapat menambah kesuburan tanah dan
meningkatkan hasil pertanian penduduk setempat. Di samping itu, masyarakat
setempat juga meyakini bahwa apabila banyak Nyale yang keluar, hal itu menandakan
pertanian penduduk akan berhasil.
Namun yang
terpenting dalam kegiatan Bau Nyale ini adalah fungsi solidaritas dan
kebersamaan dalam kelompok masyarakat di Lombok Tengah yang terus mereka
pertahankan, di samping melestarikan nilai-nilai tradisional dan budaya daerah
mereka. (SM/sas/37/10-07)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar